Dalam beberapa pekan terakhir, santer kabar terkait rencana invasi Cina ke Taiwan yang diduga kuat akan dilaksanakan pada bulan Juni mendatang. Beberapa sumber menggarisbawahi peningkatan aktivitas militer Cina di sekitar Selat Taiwan yang disinyalir merupakan latihan militer untuk persiapan invasi. Apalagi, latihan tersebut bertepatan dengan pelantikan presiden baru Taiwan, William Lai Ching-te yang dikenal prokemerdekaan. Apalagi, rencana unifikasi Taiwan telah lama menjadi rencana utama bagi pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Memang, ketengangan ini perlu disikapi dengan serius oleh negara sekitar, termasuk Indonesia yang cukup bergantung dengan stabilitas Selat Taiwan. Meski demikian, sulit untuk menyimpulkan bahwa invasi merupakan opsi terbaik bagi Cina dan invasi tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat, mengingat besarnya risiko politik, ekonomi, dan militer yang harus ditanggung Cina, melebihi keuntungan material dari invasi tersebut.
Invasi Cina ke Taiwan jelas bermakna konflik dan instabilitas di Selat Taiwan. Situasi instabilitas tersebut tentunya akan merugikan pemerintahan Xi Jinping yang tengah mempertahankan legitimasinya sebagai rezim yang mendorong kemajuan, kemakmuran, dan stabilitas bagi masyarakat Cina. Denny Roy, peneliti senior dari East West-Center, Amerika Serikat, juga menggarisbawahi hal ini. Menurutnya, Xi memiliki sejumlah prioritas domestik, seperti kemajuan ekonomi, pemerintahan yang bersih, dan aneka proyek pembangunan yang akan terdisrupsi apabila Cina menginvasi Taiwan. Invasi Taiwan akan menjadi perjudian besar bagi Xi, mengingat sulitnya menakar dampak yang terjadi dari tindakan tersebut. Apabila hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan publik, legitimasi rezim Xi yang menjabat periode ketiganya pada tahun 2023 lalu dipertaruhkan.
Selama ini, Xi Jinping dikenal sebagai pemimpin yang berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sekalipun Tentara Pembebasan Rakyat—militer Cina—telah melakukan lebih dari 1.700 pelanggaran wilayah identifikasi pertahanan udara (ADIZ) Taiwan sepanjang tahun 2023, berikut sejumlah latihan militer skala masif, pemimpin Cina tersebut tetap berusaha menurunkan ketegangan politik. Pada bulan November 2023, Xi bertemu dengan Presiden AS Joe Biden dan menyepakati sejumlah isu, seperti dibuka kembalinya kontak antarmiliter AS-Cina yang sempat terputus, kerja sama menghadapi krisis iklim, dan kerja sama penanganan isu transnasional.
Situasi ini agaknya menggambarkan kesadaran rezim Xi akan risiko dari keterlibatan AS dalam konflik atas Taiwan. Sekalipun AS tidak mengakui kedaulatan Taiwan secara diplomatik, negara adikuasa tersebut menjadi penyokong utama militer Taiwan. Biden bahkan beberapa kali menyatakan bahwa AS akan melakukan intervensi apabila Taiwan diserang—yang secara implisit menekankan komitmen AS untuk melindungi Taiwan. Apabila Cina tetap melaksanakan invasi, konsekuensi yang diterima jelas tidak kecil.
Apalagi, invasi Taiwan akan merusak citra Cina di dunia internasional. Selama ini, Cina mencitrakan diri sebagai “negara besar yang bertanggung jawab” dengan terlibat secara positif dalam berbagai sektor global, seperti pembangunan di negara-negara kecil-menengah, perdagangan bebas, investasi, dan lainnya. Cina pula terlibat di dalam berbagai inisiatif perdamaian dunia, seperti memediasi ketegangan Arab Saudi – Iran yang disambut positif oleh berbagai pihak di dunia. Praktis, opsi invasi untuk menyatukan Taiwan ke dalam wilayahnya menjadi opsi yang destruktif untuk Pemerintah Cina.
Masih berkaitan dengan kehati-hatian Cina, ekonomi negara tersebut amat bergantung dengan stabilitas Selat Taiwan. Selat ini merupakan salah satu perairan terpenting di dunia, di mana aneka komoditas strategis—mulai dari energi hingga semikonduktor—melewati selat ini. Apalagi, Taiwan merupakan mitra dagang terbesar keempat bagi Cina dengan nilai perdagangan lebih dari US$ 190 miliar pada tahun 2022 menurut Observatory of Economic Complexity (OEC). Belum lagi, Beijing amat bergantung pada produk semikonduktor buatan Taiwan yang membuat produk tersebut merajai nilai perdagangan keduanya dengan nilai mencapai US$ 57,5 miliar di tahun yang sama. Ketergantungan ini dapat berlangsung lama, seiring dengan upaya Cina untuk mengejar ketertinggalan teknologi semikonduktor dari Taiwan.
Invasi Taiwan akan memicu aneka respons negatif dari banyak pihak, khususnya AS dan sekutunya di Asia Timur seperti Jepang terhadap Cina. Rekomendasi kebijakan oleh RAND Corporation pada Maret 2024 lalu misalnya, merekomendasikan kepada Pemerintah AS terkait strategi penangkalan (denial) apabila Cina berkeras melaksanakan invasi ke Taiwan. Secara umum, Angkatan Laut AS akan melakukan blokade untuk menekan upaya invasi Cina atas Taiwan sehingga membuat upaya tersebut menjadi terlampau mahal dan merugikan Cina sendiri. Praktis, tidak hanya merugi secara militer, Cina juga akan merugi secara ekonomi mengingat perdagangan lintas selat menjadi semakin sulit dan mahal. Belum lagi, kemungkinan terlibatnya Jepang dalam konflik yang kian membuat runyam situasi ini, mengingat Jepang juga merupakan mitra ekonomi strategis Cina di Asia Timur.
Permasalahan berikutnya terletak pada aspek militer. Invasi Taiwan dapat menjadi operasi militer yang sulit, panjang, dan mahal bagi Cina. Sekalipun hingga saat ini Cina telah melakukan modernisasi militer secara luas—terkhusus angkatan lautnya, Taiwan juga telah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk memghadapi ancaman geopolitik terbesar mereka tersebut. Strategi militer Taiwan yang berfokus pada peperangan asimetris dan penangkalan wilayah (area denial) diimplementasikan untuk menangkal invasi. Taipei juga telah mengembangkan serangkaian senjata pertahanan wilayah, seperti rudal antikapal Hsiung Feng dan rudal pertahanan udara Sky Sword. Rapatnya pertahanan Taiwan, ditambah topografi pantai Taiwan yang terjal membuat pendaratan di pulau tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Cina.
Memang, jika membandingkan kekuatan militer kedua pihak secara kasar, Cina jelas lebih unggul. Apalagi, Beijing baru saja menyelesaikan kapal induk ketiganya dan telah mengoperasikan lebih dari 25 kapal pendarat amfibi yang dapat digunakan untuk invasi. Namun, strategi penangkalan wilayah Taiwan dapat menimbulkan efek deterensi yang signifikan terhadap Cina yang tentunya akan membuat usaha invasi semakin sulit dilakukan. Apalagi, kemungkinan risiko keterlibatan AS dan sekutu lainnya dalam konflik ini akan menciptakan kerugian tersendiri bagi militer Cina.
Invasi Cina ke Taiwan memang menjadi isu pelik yang perlu menjadi pertimbangan bagi negara-negara Asia-Pasifik, mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan. Akan tetapi, isu ini perlu disikapi dengan lebih hati-hati, mengingat kompleksitas yang menyelimuti isu ini dan pengambilan keputusan dari Cina sendiri. Sekalipun Taiwan berulang kali digarisbawahi oleh pemerintahan Xi Jinping sebagai prioritas strategis mereka, Cina merupakan aktor geopolitik yang rasional dan memiliki berbagai pertimbangan untuk melakukan pendekatan terkait Taiwan. Kerugian akibat invasi bisa jadi jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh Beijing, dan menjadi pertimbangan utama untuk mengesampingkan opsi tersebut.