Photo: Yonhap via Reuters
Pada malam hari selasa tanggal 3 Desember 2024 pukul 22.27 waktu setempat, terjadi ketegangan politik yang signifikan di Korea Selatan setelah Presiden Yoon Suk Yeol secara tiba-tiba mengumumkan martial law (status darurat) untuk pertama kalinya sejak 1980. Dalam pidatonya, Yoon menuduh partai oposisi, terutama Partai Demokrat, berkolusi dengan kekuatan anti-negara dan pro-Korea Utara, yang dianggapnya mengganggu stabilitas pemerintahan. Martial law ini melarang semua aktivitas politik dan membatasi kebebasan media di bawah pengawasan Komando Martial Law.
Namun, hanya beberapa jam setelah pengumuman tersebut, anggota National Assembly berkumpul dan dengan suara mayoritas menolak deklarasi martial law. Tindakan ini memaksa Yoon untuk mencabut keputusan tersebut sekitar pukul 4:30 pagi waktu setempat. Meskipun martial law dicabut, protes besar-besaran terjadi di luar National Assembly, di mana demonstran bentrok dengan pasukan militer yang mencoba memasuki gedung.
Situasi ini mencerminkan ketidakpuasan publik yang mendalam terhadap kepemimpinan Yoon, yang saat ini memiliki tingkat dukungan yang sangat rendah. Banyak pihak menyerukan pemecatan presiden karena dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan skandal yang melibatkan keluarganya. Serikat pekerja juga merencanakan pemogokan besar-besaran sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah dan untuk mendukung tuntutan pengunduran diri Yoon.
Keputusan Yoon untuk memberlakukan martial law telah memicu kekhawatiran akan kemunduran demokrasi di Korea Selatan, dan situasi ini berpotensi memperburuk ketegangan politik dalam beberapa minggu mendatang