Photo: AP/Amr Nabil
Pada akhir November 2024, konflik Suriah mengalami eskalasi yang tak terduga setelah kelompok oposisi melancarkan operasi militer berskala besar yang disebut “Deterring Aggression.” Dalam hitungan hari, pasukan oposisi merebut sejumlah wilayah strategis di Aleppo, Idlib, Hama, hingga akhirnya ibu kota Damaskus. Serangan ini berhasil menembus garis pertahanan rezim Bashar al-Assad, memicu runtuhnya kontrol pemerintah di sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai.
Situasi di lapangan menunjukkan kekacauan di kalangan militer rezim, yang tidak mampu menahan laju serangan. Lemahnya dukungan logistik dan berkurangnya keterlibatan sekutu utama seperti Rusia dan Iran turut mempercepat kejatuhan Assad. Fokus Rusia yang terpecah akibat konflik di Ukraina dilaporkan menjadi salah satu faktor utama menurunnya bantuan militer ke Suriah. Di sisi lain, Turki, yang memegang peran strategis di kawasan, terus memantau perkembangan tanpa memberikan respons langsung.
Sementara itu, sumber-sumber terpercaya mengonfirmasi bahwa Presiden Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia. Assad diterima oleh pemerintah Rusia dan diberikan suaka politik. Langkah ini memicu kekosongan kekuasaan di Suriah, yang langsung dimanfaatkan oleh kelompok oposisi untuk memperluas kendali mereka.
Menanggapi fakta tersebut, Perdana Menteri Suriah Mohammad Ghazi al-Jalali menyatakan agar semua pihak untuk tetap bertindak rasional dan berjanji akan segera memulai proses penyerahan kekuasaan ke tangan kelompok oposisi. Selain itu dirinya juga meminta kepada kelompok oposisi untuk memberikan jaminan keamanan dan tidak menyakiti siapapun yang menjadi bagian dari negara Suriah. Di sisi lain, Pimpinan Hayat Tahrir Al-Sham (HTS), Al Julani, menegaskan kepada seluruh kelompok oposisi bahwa semua lembaga publik tetap berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri, serta melarang upaya pengambilalihan kekuasaan.