Photo: AP Photos
Donald Trump pada Selasa (07/01) pekan lalu melontarkan wacana yang menghebohkan publik, yakni rencananya untuk melakukan aneksasi atas wilayah Kanada dan Greenland. Kontroversi Presiden yang sedianya akan dilantik pada Senin pekan depan tersebut kembali menggegerkan dunia internasional. Pernyataan ini kelihatan irasional di permukaan, sehingga menyisakan pertanyaan apakah sebatas lip service atau terdapat kalkulasi geopolitik signifikan di baliknya. Indonesia yang tidak lama ini bergabung dengan blok kerja sama BRICS tentu perlu menimbang-nimbang alasan AS secara geopolitik.
Level Analisis Individu dalam Ide Trump
Donald Trump, sosok yang sebelumnya sempat menjabat sebagai Presiden AS ke-45 sebelum petahana Joe Biden memang dikenal sebagai figur yang tidak biasa untuk standar politik AS. Karakternya yang populis, pragmatis, dan tidak jarang impulsif sering melahirkan kebijakan atau wacana yang tampak mustahil. Distorsi ini terlihat dalam level analisis individu dalam subjek Hubungan Internasional dalam rangka menjelaskan betapakepribadian pemimpin memengaruhi keputusan politik luar negeri. Ketidakterbacaan Trump justru membuatnya terbaca: pola kebijakan yang bersifat transaksional mendominasi Presiden terpilih AS dengan latar belakangnya yang merupakan pengusaha ini. Sebagai contoh, keputusannya menarik AS dari Paris Agreement, TPP, atau perang dagang dengan Tiongkok lebih banyak didasarkan pada kalkulasi ekonomi jangka pendek daripada pertimbangan strategis jangka panjang.
Dalam konteks ide aneksasi, Trump melihat Kanada dan Greenland sebagai aset strategis yang menguntungkan secara ekonomi maupun geopolitik. Kanada memiliki cadangan sumber daya energi yang melimpah, sementara Greenland dengan posisinya yang strategis di Arktik menyimpan potensi mineral langka yang sangat dibutuhkan dalam era teknologi tinggi. Selain pertimbangan strategis lainnya berupa penguasaan total kawasan Kutub Utara dari invasi aktor besar lain seperti Rusia dan Tiongkok. Meskipun demikian dengan rekam jejak Trump yang kontradiktif dengan pernyataannya, ada kemungkinan besar bahwa narasi politik ini tidak lebih dari taktik lip service dalam memantik perhatian publik dan pendukungnya.
Analisis Strategis: Peluang dan Hambatan
Terdapat peluang dan hambatan dalam perspektif strategis terkait ide aneksasi Presiden Terpilih Trump. Secara peluang geopolitik, AS di bawah Trump ingin mengembalikan marwah tatanan global Pax Americana yang menekankan pada dominasi Washington ke seluruh kawasan di dunia. Kanada dan Greenland dapat ditempatkan sebagai keunggulan signifikan dalam peta kekuatan global AS. Peluang ini berbenturan dengan hambatan besar yakni Kanada sendiri memiliki relasi budaya politik historis yang kuat dengan Britania Raya mengingat negara tersebut adalah persemakmuran Inggris. Perlawanan diplomatik serius tidak hanya dari Kanada, melainkan Inggris dan juga negara-negara Persemakmuran lainnya yang masih solid di bawah Mahkota Charles III.
Greenland sebagai wilayah otonom Denmark juga menolak keras wacana Trump. Pemerintah Denmark baik Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Pemimpin Oposisi solid untuk membantah pernyataan yang dibuat di Mar-a-Lago tersebut. Belum lagi potensi blok NATO yang dapat saja terpecah solidaritas antara anggota-anggotanya akibat kontroversi. Uni Eropa dan negara-negara lain yang terafiliasi dengan AS juga kemungkinan besar akan mengutuk ide yang berujung pada isolasi diplomatik bagi Washington di bawah Presiden Trump.
Oleh karena itu terdapat tiga skenario besar yang dapat dimungkinkan terjadi akibat pernyataan Presiden terpilih Trump dan eksekusinya pada saat ia menjabat ke depan. Pertama, bahwasanya Trump bisa saja menggunakan isu ini sebagai alat negosiasi geopolitik. Melempar wacana aneksasi membuat Trump dapat menekan Kanada dan Denmark untuk memberikan konsesi tertentu seperti akses yang lebih luas terhadap sumber daya energi atau mineral di Greenland. Kedua, wacana yang dibuat Trump memicu ketegangan diplomatik yang meluas sehingga dapat merugikan AS sendiri. Terlepas dari sikap “bodo amat”nya, kredibilitas Trump sebagai figur politik semakin melemah. Kendati demikian terdapat skenario ketiga yang mengarah pada status quo yakni gagasan Trump dapat berlalu begitu saja seperti banyak pernyataan kontroversial Trump lainnya, tanpa dampak nyata dalam kebijakan luar negeri AS.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
Indonesia di bawah Presiden Prabowo, yang telah menerima telepon dari Presiden Terpilih Donald Trump beberapa waktu lalu sebagaimana viral di media sosial, perlu untuk mempertimbangkan secara strategis posisinya sebagai middle power secara berhati-hati. Strategi untuk diplomasi perlu dirumuskan secara matang dalam rangka menghadapi kekuatan besar yang semakin kompetitif. Meski wacana aneksasi Kanada dan Greenland jauh secara geografis dari realitas yang terjadi sehari-hari kawasan Asia Tenggara, pembelajaran strategisnya akan tetap relevan. Pertama, Indonesia harus terus memperkuat posisinya melalui multilateralisme di tengah persaingan kekuatan besar, dengan tetap bertumpu pada ASEAN sebagai penyeimbang kekuatan besar di kawasan.
Kedua, Indonesia perlu mengantisipasi potensi pola serupa di kawasan sendiri. Peningkatan kompetisi antara AS dan Tiongkok di Indo-Pasifik membuat Indonesia perlu mewaspadai gerak-gerik dari Beijing untuk memperluas pengaruhnya melalui cara-cara yang asertif sampai dengan agresif. Indonesia harus tetap bertumpu pada keseimbangan antara kepentingan nasional dan stabilitas regional. Ketiga, Donald Trump adalah figur yang tidak pernah lepas dari kontroversi. Wacana aneksasi Kanada dan Greenland, meski tampak irasional mencerminkan pola pikir yang khas: ambisi besar dengan kalkulasi sangat pragmatis. Indonesia perlu berpikir lebih kritis melalui pendekatan strategi dan tata kelola strategis, dengan mengandalkan analisis multiperspektif dan interdisipliner dalam rangka memahami implikasinya secara lebih mendalam.
Bagi Indonesia, isu yang dihembuskan Presiden Terpilih Trump menjadi pengingat pentingnya peran diplomasi dalam menjaga stabilitas kawasan dan menghadapi dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Jika ada satu hal yang pasti, dunia internasional di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Trump selalu penuh kejutan. Terutama sekali, Indonesia telah resmi bergabung dengan blok kerja sama seteru AS yakni BRICS. Namun, kejutan ini hanya akan menjadi ancaman jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang cerdas dan strategis.