Photo: Harian Disway
Probo Darono Yakti
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga
Mochammad Arif
Research Fellow Center for National Defense and Security Studies
Rudal Jarak Jauh yang Mengubah Peta Udara
Insiden di langit Kashmir awal Mei lalu menjadi pembuka diskusi serius soal peta kekuatan alutsista dunia. Sebuah jet tempur Rafale buatan Prancis milik India jatuh, bukan karena duel udara jarak dekat, melainkan dihantam rudal dari jarak lebih dari 180 kilometer. Penembaknya? J-10C milik Pakistan, buatan Tiongkok.
Dalam ranah strategi udara, ini bukan sekadar adu kemampuan pilot atau kecepatan jet. Ini tentang siapa yang lebih unggul dalam jangkauan deteksi dan penguncian sasaran. Rudal PL-15 yang digunakan dalam serangan itu diyakini menjadi faktor pembeda: berjangkauan jauh, dikendalikan dengan sistem radar aktif, dan diluncurkan dari platform tempur yang harganya jauh di bawah Rafale.
Varian rudal yang digunakan Pakistan sendiri adalah PL-15E, versi ekspor dari PL-15, yang memiliki kecepatan Mach 5+ dengan jangkauan hingga 145 km. Rudal ini memiliki kemampuan Beyond Visual Range (BVR), dirancang untuk menandingi rudal Barat seperti AIM-120D AMRAAM dan Meteor.
Jet J-10C sendiri merupakan pesawat single engine yang dilengkapi dengan radar AESA dan sistem avionik canggih, termasuk helm dengan sistem penargetan (HMS) dan tampilan head-up holografik (HUD). Kombinasi J-10C yang dapat membawa rudal BVR PL-15E memungkinkan jet ini untuk mengunci dan menghancurkan target diluar jangkauan Rafale.
Dimensi Strategis di Asia Selatan dan Indo-Pasifik
Konflik India-Pakistan bukan hal baru. Tapi konteks geopolitiknya kali ini berbeda. Asia Selatan kini bukan sekadar arena lokal, melainkan simpul tarik-menarik kepentingan besar: antara blok yang didukung Amerika Serikat dengan poros Tiongkok yang semakin percaya diri. Pakistan di satu sisi mendapat pasokan teknologi mutakhir dari Beijing, termasuk pengembangan bersama jet tempur JF-17, pengadaan jet tempur J-10C, rudal PL-15E, hingga sistem pertahanan HQ-9. sementara India mempererat kemitraan strategis dengan Washington, Paris, dan Tokyo melalui berbagai latihan militer seperti Yudh Abhyas, Cope India, dan Malabar, serta menjadi bagian dari QUAD,
Peristiwa awal Mei 2025 dimulai dengan serangan teroris di Kashmir yang menewaskan 26 wisatawan India. India membalas dengan serangan rudal ke wilayah Pakistan, yang kemudian dibalas oleh Pakistan dengan menembak jatuh jet Rafale India menggunakan J-10C dan PL-15E.
Insiden ini merupakan sebuah pil pahit bagi India. Jet tempur canggih yang dibeli dengan harga tinggi dari Prancis ternyata tidak kebal terhadap sistem senjata dari Tiongkok yang lebih murah, tetapi lebih efektif dalam kondisi pertempuran modern. Superioritas udara yang selama ini menjadi kepercayaan diri New Delhi kini dipertanyakan, dan memaksa India untuk mengevaluasi kembali efektivitas strategi militernya di kawasan.
Pertemuan-pertemuan tinggi antara menteri pertahanan India dan pejabat Pentagon baru-baru ini juga menambah dimensi baru dalam konflik Kashmir. Eskalasi ini, meski tampak terbatas, memiliki gema yang lebih luas ke kawasan Indo-Pasifik, tempat Indonesia berada di tengah-tengahnya.
Indonesia Perlu Menahan Diri
Indonesia saat ini sedang dalam proses pengadaan 42 unit jet tempur Rafale dari Prancis. Nilai kontraknya besar, mencapai 8,1 miliar dolar, melalui skema pinjaman luar negeri. Pengiriman awal akan dikirim pada awal 2026. Langkah ini tentu berangkat dari niat baik memperkuat pertahanan. Namun, pelajaran dari bentrokan di Kashmir mestinya mengundang refleksi: apakah pembelian ini sudah benar-benar strategis?
Rafale memang memiliki reputasi baik. Tapi insiden tersebut menunjukkan bahwa reputasi saja tidak cukup. Dalam era di mana sistem sensor, rudal jarak jauh, dan interoperabilitas menjadi penentu kemenangan, performa harus diuji bukan dari brosur, melainkan dari realitas di medan konflik.
Dari sisi biaya operasional, satu unit Rafale memerlukan anggaran sekitar 18.000 dolar AS per jam terbang. Sebagai perbandingan, JF-17 hanya memerlukan sekitar 4.500 dolar, sementara J-10C sekitar 9.000 dolar per jam. Dalam jangka panjang, biaya logistik, pelatihan, dan perawatan dapat menguras anggaran pertahanan jika tidak dihitung secara cermat.
Alutsista Timur Kian Berkembang
Tiongkok memang bukan pemain baru di industri alutsista, namun kini kualitas produknya mulai menyaingi bahkan melampaui standar Barat. Selain jet J-10C, Tiongkok telah mengembangkan berbagai sistem mutakhir seperti drone tempur Wing Loong, kapal induk Fujian, dan sistem pertahanan udara HQ-9.
Menariknya, banyak dari produk ini digunakan oleh negara-negara di Asia, Timur Tengah, hingga Afrika. Menurut data SIPRI, Tiongkok menyumbang 5,9% dari ekspor senjata global pada periode 2020–2024, menjadikannya eksportir senjata terbesar keempat di dunia, dengan dengan 77% diekspor ke Asia-Oseania dan 14% ke Afrika. Uniknya, 63% dari seluruh ekspor itu hanya ke satu negara: Pakistan. Harganya yang lebih terjangkau, layanan purna jualnya fleksibel, dan kemampuan operasionalnya yang terbukti dalam berbagai konflik terbatas membuat produk Tiongkok kian digemari banyak negara di dunia. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi dominasi industri pertahanan Barat yang selama ini lebih menekankan pada standar NATO dan biaya tinggi.
Menimbang Ulang: Antara Gengsi dan Efektivitas
Indonesia adalah negara besar dengan tradisi nonblok. Kita tidak perlu berpihak secara ideologis dalam urusan alutsista. Yang kita butuhkan adalah pendekatan yang rasional dan kontekstual: cocok dengan kebutuhan, medan geografis, dan kesiapan SDM.
Pembelian alutsista seharusnya tidak semata-mata mengejar gengsi atau simbol “kebaratan”. Dalam kondisi fiskal yang terbatas, setiap rupiah yang dibelanjakan untuk pertahanan harus menghasilkan kemampuan nyata, bukan sekadar citra.
Jangan Beli karena Tren
Dari langit Kashmir, kita belajar satu hal penting: pembelian alutsista tidak boleh gegabah. Dunia berubah cepat, dan kemampuan bertahan ditentukan oleh seberapa adaptif kita menyikapi perubahan. Saat negara-negara lain mulai membuka opsi ke Timur, kita pun tak perlu gengsi menimbang semua pilihan yang ada. Ketepatan strategi harus mengalahkan kebiasaan lama. Karena dalam pertahanan, yang paling penting bukan soal siapa yang paling mahal, tapi siapa yang paling siap.
Artikel ini pernah diterbitkan di Harian Disway, tanggal 24 Mei 2025.
Link https://harian.disway.id/readepaper/1580/adu-kuat