Photo: Muhammad Ramdan/ANTARA Foto
Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri 2025 pada Jum’at (10/01) yang sekaligus menjadi debut pertama Menteri Luar Negeri Sugiono, menimbulkan banyak spekulasi dan pertanyaan terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia ke depan. Mulai dari intensi dibalik keanggotaan Indonesia dalam BRICS, hingga perubahan arah politik luar negeri Indonesia yang mencerminkan pergeseran dari kekuatan menengah menjadi karakteristik negara besar.
Ada Apa Dibalik PPTM 2025?
Serangkaian gebrakan Kementerian Luar Negeri dalam beberapa waktu belakangan, seperti penandatanganan pernyataan bersama terkait Laut China Selatan, hingga penerimaan Indonesia sebagai anggota penuh BRICS, telah menempatkan Kementerian Luar Negeri dan tentunya, Menlu Sugiono dalam spotlight khalayak ramai, terutama kalangan akademisi.
Dalam sesi tahunan ini, Menlu Sugiono kembali menekankan tiga poin penting yang menjadi prioritas diplomasi Indonesia: menempatkan dirinya di panggung dunia sesuai dengan marwahnya sebagai sebuah ‘negara besar’, sebagai mitra terpercaya, dan sebagai tetangga yang baik.
Poin-poin penting yang diutarakan Menlu Sugiono tersebut sama dengan prioritas kebijakan luar negeri Prabowo Subianto. Jelas, terdapat konsistensi dalam bagaimana pembawaan narasi oleh Sugiono dan juga Prabowo Subianto, mengingat penunjukkan Sugiono sebagai Menlu tidak dapat dilepaskan dari peran Prabowo yang ingin mendapatkan kontrol lebih terhadap kebijakan luar negeri Indonesia.
Salah satu poin penting yang tak pernah lepas dari narasi tersebut, ialah upaya untuk mengklaim status sebagai sebuah negara besar. Mulai dari pidato pelantikan Prabowo Subianto, pidato Sugiono dalam CIFP 2024, hingga PPTM 2025 menunjukkan adanya konsistensi dari retorika “negara besar” sebagai narasi utama yang berupaya dibangun oleh pemerintahan Prabowo Subianto.
Melemahnya Multilateralisme Ditengah Krisis Global
Hal menarik lainnya, ialah bagaimana Menlu Sugiono mendeskripsikan pandangan Indonesia terhadap multilateralisme. Hal yang bahkan tidak pernah disebutkan pada tahun-tahun sebelumnya, ialah pernyataan terkait dengan multilateralisme yang kehilangan dayanya.
Argumen utamanya, ialah multilateralisme yang kehilangan daya serta relevansi nya dengan tantangan global, yang diakibatkan oleh melemahnya komitmen dari negara-negara pendiri. Sugiono sendiri memberi contoh perang Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Palestina sebagai dua kasus penting, yang menggarisbawahi bagaimana hak veto digunakan secara ‘sewenang-wenang’ oleh negara besar.
Namun, bertentangan dengan poin sebelumnya yang menunjukkan adanya tendensi revisionis Indonesia, Sugiono juga menekankan inti kebijakan Indonesia yang berupaya menghindari pertentangan sebagai hal terpenting. Sugiono menekankan posisi Indonesia sebagai sebuah “jembatan” sekaligus pelopor perubahan di dunia internasional. Konsep yang lagi-lagi dikutip langsung dari pernyataan Prabowo Subianto.
Berbeda dengan PPTM 2024, dimana Menlu Retno Marsudi secara tidak langsung menyebut Indonesia sebagai kekuatan menengah—beliau alih-alih merujuk kepada studi Lowy Institute yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan menengah berpengaruh, Sugiono secara sepihak mengklaim Indonesia sebagai sebuah negara besar, yang menjadi salah satu poin penting dalam PPTM 2025 kali ini.
Laut Cina Selatan, BRICS, dan Masa Depan
Pertanyaan besar terkait manuver kebijakan Indonesia belakangan ini, utamanya penandatanganan joint statement dengan China di Laut China Selatan dan aksesi Indonesia sebagai anggota penuh BRICS tetap menyisakan ruang tersendiri.
Dalam sesi PPTM 2025, Menlu Sugiono sempat menyoroti penandatanganan pernyataan bersama yang kontroversial tersebut. Poin-poin yang dikemukakan dapat dikatakan normatif dan sederhana: mulai dari upaya Indonesia untuk terlibat dalam dialog konstruktif, langkah diplomasi dalam menghindari pertentangan, hingga pernyataan berbahaya terkait dengan urgensi untuk menemukan titik temu dalam sengketa dengan Tiongkok.
Hal ini sendiri belum pernah ada dalam pernyataan-pernyataan Kemlu tentang sengketa Laut China Selatan sebelumnya. Indonesia, tidak pernah mengakui adanya klaim sepihak China terhadap “nine-dash line” di salah satu wilayah hotspot Indo-Pasifik ini. Namun, perubahan drastis Indonesia dalam bentuk penandatanganan pernyataan bersama, justru menunjukkan adanya pengakuan terhadap klaim yang saling tumpang-tindih, serta prospek eksplorasi bersama sumber daya alam di masa depan.
Sementara, dalam keanggotaan penuh Indonesia ke dalam BRICS, proses aksesi kilat dan mendadak Indonesia sendiri juga menimbulkan banyak pertanyaan. Namun, sayangnya Menlu Sugiono sendiri tidak menjelaskan secara mendalam terkait hal ini. Alih-alih menjelaskan casus belli dibaliknya, Menlu Sugiono menyatakan bahwa tindakan Indonesia merupakan bagian dari “perwujudan politik bebas aktif”.
Adanya pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab ini, menimbulkan sejumlah kegusaran di berbagai pihak. Utamanya, kalangan akademisi. Utamanya, terkait dengan alasan “Indonesia sebagai jembatan” dan relevansi BRICS yang dipandang Jakarta sebagai sebuah blok geoekonomi yang relevan dikarenakan potensi secara kuantitas pasar dan ekonominya, alih-alih memperhitungkan political cost yang akan diterima Jakarta. Terlebih, setelah Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif 100% bagi negara anggota BRICS.
Upaya Jakarta dalam mengklaim status sebagai sebuah kekuatan besar, tanpa mitigasi dan kalkulasi kapabilitas politik, dapat menjadi sebuah bumerang yang akan merugikan pemerintahan Prabowo itu sendiri. Terlebih, kurangnya diskusi publik, koordinasi antar lembaga, hingga studi lanjutan terkait dengan konsekuensi politik dari kedua hal tersebut, menjadi suatu pekerjaan rumah bagi Menlu Sugiono dan Kementerian Luar Negeri. Bak api yang sudah terbakar, satu-satunya cara dalam menangani hal ini ialah dengan menyiapkan pemadam. Dan tanggung jawab inilah, yang pada akhirnya akan jatuh ke tangan para diplomat.