CNDSS
  • Home
  • Commenting
  • Insight
  • Weekly Report
  • Agenda
  • About us
No Result
View All Result
CNDSS
  • Home
  • Commenting
  • Insight
  • Weekly Report
  • Agenda
  • About us
No Result
View All Result
CNDSS
No Result
View All Result

Drone Maritim sebagai Force Multiplier bagi Angkatan Laut Indonesia

Akhmad Hani Nadif by Akhmad Hani Nadif
30 April 2024
in Commenting
0
Drone Maritim sebagai Force Multiplier bagi Angkatan Laut Indonesia
Share on FacebookShare on Twitter

Perang di Ukraina telah berlangsung selama hampir dua tahun. Perang ini bisa dibilang telah menjadi ajang uji coba bagi sistem senjata tak berawak yang baru dan inovatif. Salah satu sistem yang dianggap sebagai pengubah permainan dalam perang yang sedang berlangsung adalah drone maritim Ukraina, atau lebih khusus lagi, “loitering munitions” atau secara harfiah amunisi yang mampu berkeliaran di laut. Untuk berikutnya akan disebut sebagai “drone maritim”

Secara singkat, ini adalah sejumlah besar senjata permukaan dan semi-selam tak berawak dengan sistem navigasi, komunikasi dan berbagai macam sensor bahkan hulu ledak di dalamnya. Dalam tulisan ini drone maritim yang dimaksud adalah kategori USV (kapal permukaan nir-awak) dan UUV (kapal bawah permukaan nir-awak). Di palagan Ukraina semua bermula dari jet-ski sederhana yang dijejali dengan bahan peledak dan dikendalikan dari jarak jauh menjadi sistem yang lebih canggih seperti Toloka TL-150. Selama periode Juli hingga Oktober, amunisi yang berkeliaran di laut Ukraina secara efektif menargetkan aset-aset strategis Rusia, termasuk Jembatan Kerch, di samping sejumlah kapal angkatan laut Rusia dari Armada Laut Baltik, termasuk kapal-kapal pendaratan dan Korvet. Terbukti, rasio biaya terhadap penghancuran sangat menguntungkan. Infrastruktur dan kapal-kapal angkatan laut strategis bernilai ratusan juta dolar dihancurkan oleh sistem senjata tak berawak yang murah.

Dari kasus Ukraina ini, kita dapat mengamati bahwa teknologi sistem senjata tak berawak dalam domain maritim dapat memberikan kesempatan kepada kekuatan yang lemah untuk melawan yang lebih kuat. Dalam kasus ini, Angkatan Laut Ukraina yang mana bisa dikatakan hampir tidak eksis mampu menyebabkan kehancuran yang sangat efisien terhadap Angkatan Laut Rusia yang jauh lebih besar dan kuat.

Hal ini membawa kita ke Indonesia, meskipun bukan negara pengklaim namun kita terlibat dalam perselisihan dengan Cina atas sebagian Laut Natuna Utara. Kebuntuan perbatasan kecil telah terjadi di Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Cina. Sayangnya, Angkatan Laut Indonesia terhalang oleh kemampuan simetris angkatan laut yang tidak memadai untuk menghadapi atau menghalangi Angkatan Laut Tiongkok. RENCANA di Laut Natuna Utara, yang secara geografis sebenarnya merupakan bagian dari Laut Cina Selatan (LCS).

Pada 16 September 2021, ada sekitar lima kapal perang TNI AL dari berbagai kelas yang berpatroli di Natuna Utara, dan pada 16 Januari 2023, menurut Laksamana Muhammad Ali, jumlahnya menjadi tiga hingga empat kapal perang bersama dengan pesawat patroli maritim. Hal ini sangat kontras dengan aset militer Tiongkok di wilayah tersebut. Pada Maret 2022, menurut Komandan Indo-Pasifik AS Laksamana John C. Aquilino, Tiongkok telah membentengi sejumlah pulau di wilayah yang disengketakan itu secara ekstensif dengan peralatan perang elektronik, jet tempur, dan sistem rudal antikapal dan antipesawat. Kepulauan Spratly juga digambarkan dalam foto-foto karya fotografer Getty Images, Ezra Acayan, yang meliputi lapangan terbang, kapal perang, dan instalasi radar.

Militer Tiongkok terutama ditempatkan dalam jarak beberapa ratus mil dari Laut Natuna, dan sejauh ini, tidak ada indikasi permusuhan antara kedua negara. Namun, efek spillover sangat mungkin terjadi karena fakta bahwa ratusan mil tampaknya bukan jarak yang tidak dapat diatasi untuk rudal jelajah, pesawat tempur, pesawat pengebom strategis, atau rudal balistik. Hal ini berpotensi menghalangi jalur pelayaran di perairan internasional dan perairan Natuna Indonesia. Sebaliknya, konfrontasi militer antar negara dewasa ini lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan konflik asimetris dengan intensitas rendah yang menjadi ciri khas era “Global War on Terror”. Dengan demikian, saya melihat jika pihak-pihak terkait segera melakukan upaya de-eskalasi yang konkret, ada kemungkinan besar bahwa perang akan pecah dalam konflik LCS di masa depan.

Mengembangkan solusi teknologi tinggi konvensional yang kuat tidaklah murah dan membutuhkan investasi waktu, uang, dan personel yang besar. Beberapa hal bagi Indonesia yang sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Tiongkok. Oleh karena itu, Angkatan Laut Indonesia, TNI-AL, perlu mengembangkan kemampuan asimetris yang unik untuk mendapatkan keunggulan kompetitif atas Tiongkok. Oleh karena itu, drone maritim berperan penting dalam upaya ini.

Sebagai pengganda kekuatan, drone maritim yang kecil dan murah namun efektif ini dapat memainkan berbagai fungsi yang akan membantu TNI-AL dalam meningkatkan kesadaran situasional, kemampuan jamming, dan daya tembak. Di Ukraina, nirUSV mampu mengumpulkan informasi intelijen sekaligus merusak target. Satu “Sea Baby”, misalnya, berharga sekitar US$250.000. Bandingkan dengan rudal jelajah yang harganya bisa mencapai US$2 juta atau torpedo yang harganya bisa mencapai US$5 juta.

Pertimbangkan skenario berikut ini, satu kapal induk yang mengawasi wilayah yang ditentukan menggunakan kelompok drone maritim, masing-masing ditugaskan dengan fungsi yang berbeda seperti anti-kapal selam, anti-kapal, pembersihan ranjau, perang elektronik, atau ISR. Drone maritim ini sangat cocok untuk penegakan hukum dan pertahanan pantai di Indonesia dengan garis pantai yang membentang ribuan kilometer. Singkatnya, MUM-T versi maritim.

Namun, sebelum menjalankan konsep MUM-T (Manned-Unmanned Teaming), TNI-AL harus terlebih dahulu membangun infrastruktur dan fasilitas yang diperlukan untuk mencapai kemampuan peperangan yang berpusat pada jaringan atau NCW. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pengguna, pembuat kebijakan, kelompok peneliti, dandan industri pertahanan. NCW akan mengintegrasikan seluruh komponen Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, Pengamatan, dan Pengintaian (K4IPP) untuk mendukung operasi militer angkatan laut. TNI-AL akan mengembangkan konsep berbasis satelit untuk dukungan komunikasi dan tujuan lainnya.

Kemajuan terbaru telah menunjukkan lintasan yang baik. Link ID, sebuah tautan data taktis asli Indonesia, telah diimplementasikan di sejumlah sistem pertahanan TNI, termasuk Naval Combat System (NCS) dan CTDLS (Communication Tactical Data Link System), sejak tahun 2015, dan PT. LEN juga telah menandatangani kontrak dengan Thales Alenia untuk satelit observasi bumi yang didedikasikan untuk Kementerian Pertahanan. Namun, USV dan UUV tidak disebutkan dalam RENSTRA (Rencana Strategis) untuk tahun 2024-2029. Sangat disayangkan bahwa sistem tanpa awak maritim tampaknya belum menjadi peralatan prioritas. Proyek Vanguard dan KSOT (Kapal Selam Autonomous) mungkin harus menunggu hingga perenncanaan berikutnya

Serangkaian tantangan untuk mengembangkan sistem maritim tanpa awak telah diidentifikasi lebih lanjut. Seberapa jauh kita dalam hal ini? Apakah layak untuk mengalokasikan sumber daya material dan manusia untuk mengembangkan kemampuan konvensional dan asimetris secara bersamaan? Saat ini tantangan terbesar bagi Indonesia adalah di sektor pengembangan SDM selain juga tentunya anggaran pertahanan dan litbang yang sangat rendah jika dibandingkan dengan skala ekonomi negara ini dan luasnya. Namun, meskipun investasi awal akan mahal baik secara materi maupun non-materi, saya yakin bahwa hal itu akan bermanfaat dalam jangka panjang.

Kesimpulannya, sepak terjang drone maritim Ukraina dalam melawan kekuatan AL Rusia dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan kemampuan asimetris TNI-AL kedepannya karena kemampuan angkatan laut konvensional Indonesia tidak akan bisa sebanding dengan Angkatan Laut PLA (People’s Liberation Army) di LCS untuk waktu yang cukup lama di masa depan. Untuk mengimbangi hal ini, sangat penting bagi Indonesia untuk memberikan penekanan khusus pada kemampuan asimetris yang dapat ditawarkan oleh sistem otonom maritim untuk meningkatkan keunggulan kompetitif TNI-AL. Akan tetapi, hal ini juga ada harganya.  Program sistem tanpa awak maritim Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal. Terlepas dari keadaan yang mungkin timbul, Indonesia harus mempertahankan arahnya dalam mengembangkan sistem untuk masa depan peperangan laut di LCS.

Next Post
Presiden dan Menteri Luar Negeri Iran Tewas dalam Kecelakaan Helikopter

Presiden dan Menteri Luar Negeri Iran Tewas dalam Kecelakaan Helikopter

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CNDSS

The Center for National Defense and Security Studies (CNDSS) is a non-profit organization dedicated to fostering collaboration between universities, government, and industries in the field of defense and security matters with strategic, analytically rich, and coherent analysis. Our mission is to promote innovation, research, and development in this critical area, with the ultimate goal of enhancing the safety and security of our communities and nations.

Our Social Media

© 2024 CNDSS- Center for National Defense and Security Studies (CNDSS).

No Result
View All Result
  • Home
  • Commenting
  • Insight
  • Weekly Report
  • Agenda
  • About us

© 2024 CNDSS- Center for National Defense and Security Studies (CNDSS).